Eits, jangan langsung mundur dulu begitu baca judul di atas. Siapapun bisa baca tulisan ini.
Sejak mesin uap dikembangkan secara massal pada zaman Revolusi Industri sampai dengan beberapa dekade lalu, para pelaku bisnis cenderung memusatkan perhatiannya pada aktivitas produksi barang dan jasa. Berapa banyak yang harus diproduksi, konsumen dari strata ekonomi seperti apa yang harus dibidik, perburuan teknologi dan mesin-mesin canggih, bagaimana untuk menekan biaya produksi per produk, dan lain sebagainya. Hal-hal teknis yang sering dilabeli dengan competitive advantage itulah. Atau pilihan seperti, mendingan menjual banyak barang/jasa dengan harga kompetitif atau menjual lebih sedikit barang/jasa dengan harga premium?
Namun, coba lihatlah kemajuan teknologi informasi saat ini. Beberapa dekade yang lalu, sulit bagi kita untuk membayangkan bagaimana social networking seperti Facebook dapat berperan besar dalam revolusi Mesir, misalnya. Atau bagaimana Twitter bisa menjadi media iklan yang ampuh sampai-sampai beberapa kota besar di Indonesia dilanda demam es krim Walls Magnum pada akhir 2010 lalu. Saat ini, informasi hanya butuh waktu beberapa detik untuk menyebar dari satu titik di satu benua untuk sampai ke belahan bumi yang lainnya. Saat ini, pelaku bisnis tidak butuh waktu lama untuk menduplikasi teknologi andalan milik pesaingnya. Saat ini, teknologi yang dilabeli kata canggih akan menjadi standar atau bahkan usang hanya dalam hitungan bulan.
Saat ini, akses terhadap informasi dan teknologi canggih semata tidaklah cukup untuk memenangkan persaingan. Saat ini, kontras dengan maraknya PHK danoutsourcing, sesungguhnya aset yang paling berharga adalah: sumber daya manusia.
Kalau tidak percaya, coba saja lihat format iklan lowongan pekerjaan di koran. Sebelum persyaratan administrasi seperti IPK 3.XX, CV, de el el, biasanya tercantum kata-kata seperti ini,
“Apakah Anda adalah pria/wanita yang menyukai tantangan dan mampu bekerja dalam tim? Jika ya,… *blablabla*”
“Dicari! Pria/wanita single yang kreatif, inovatif, berjiwa pemimpin, dan solutif.”
Jangan memelototi kata single-nya. Tapi syarat-syarat kualitatif yang gak bisa diukur pakai angka semata itu, lho.
Service Economy
Oke, mari hadapi kenyataan bahwa dunia ini tengah dimabuk ekonomi berbasis jasa. Lantas, apa manfaatnya bagi kita sebagai freelancers? Coba simak quotes berikut,
“According to a survey conducted by Evalueserve, a market research company, the online freelance market size will increase from 250 million dollar to 2 billion dollar by 2015.”
W-o-w. Menggiurkan, bukan? Tapi seperti kata dosen saya dulu, “Sukses = Kesiapan + Kesempatan”. Kesiapan harus berada di urutan pertama, barulah diikuti oleh kesempatan. Mengapa? Sebab, kesempatan hanya dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang siap.
Pesan moralnya, mari kita terus asah skill di bidang freelancing masing-masing. Jangan sampai ketika kesempatan itu menampakkan diri di depan mata, eeh kita justru belum siap. Semoga beruntung dalam bersahabat dengan service economy, freelancers! 😉
zaenal
mantap sekali postingannya mas… Double jempol deh!!… 🙂
Shinta Yanirma
makasih 🙂 ngomong-ngomong saya cewek *jedotin kepala*
zaenal
oiya ya…. maaf kalo gitu mbakyu.. 🙂
sedikit comment, iya internet emang terus berkembang menyentuh hampir semua sisi kehidupan. dalam bekerja pengaruhnya juga besar sekali, yang dulu kantoran sekarang bisa dikerjakan dari rumah. dan skill-2 unik yang sebelumnya hanya dikenal oleh masyarakat sekitar punya kesempatan untuk dikenal secara global.
selain menyiapkan diri, juga harus promosi kelebihan dari skill yang kita miliki.
prepare-promote-action 🙂
Haryanto
Tips nya : Belajar.. Belajar.. dan terus Belajar…