Pernah nggak kita membayangkan dan membandingkan tentang penjual nasi goreng pinggir jalan dan penjual nasi goreng di mall. Bagaimana cara mereka menjual dan bagaimana cara mereka menarik para pelanggan. Secara sadar ataupun tidak, kita pasti akan menyimpulkan terdapat perbedaan yang cukup mencolok baik itu dari segi service sampai dengan hasil yang ditawarkan.
Dalam masalah lapak penjualan, penjual nasi goreng pinggir jalan kadang mereka menggunakan gerobak/tempat seadanya, dengan gambar dan tulisan yang mencolok atau dengan tambahan attribut kampanye yang digunakan untuk pelindung dari debu ataupun untuk menjadi payung buat nggak kepanasan. Yang kadang eye catching dan juga membuat kita tertarik untuk datang dan sekedar mencoba. Tapi bila si penjual sedikit jorok akan membuat kita menjauhi dan tidak akan mencoba sama sekali. Dan semua transaksi, kesenangan, complain, tips semuanya diberikan langsung ke si mas/mbak yang menjual, komunikasi berjalan langsung tanpa perlu confirmasi ke kanan dan kiri.
Tapi hal tersebut berbeda dengan penjual nasi goreng yang berada di pusat perbelanjaan, si pemilik mendesign tempatnya sedemikian rupa dengan design yang cukup wah, enak dipandang dan membuat orang ingin datang untuk mencoba. Semua hal di delegasikan ke dalam sebuah struktur organisasi yang jelas, dari mulai yang memasak, melayanani sampai yang memanage. Bila kita ingin complaint kita bisa langsung ke manager, dan si pemilih hanya muncul bila memang sangat dibutuhkan, waktu berkunjungpun telah di setup untuk waktu jam kerja teretentu sehingga orang tahu kapan datang dan kapan pulang.
Untuk masalah rasa dan hasil sebenernya tergantung dari selera, tapi sebuah ungkapan βcakep itu relaif dan jelek itu mutlak berlakuβ, jad rasa pastinya tidak bisa dibohongin. Bila si tukang mas jualan nasi goreng itu enak maka kita akan menjadi salah satu pelanggan tetapnya, walaupun terkadang sulit untuk diketahui kapan si penjual datang dan bagaimana menghubunginnya, bila dia sakit siapa yang akan menjual dagangan dia. Berbeda dengan si penjual di mall apapun rasanya selama dia masih dalam hitungan standart dilidah dan masih bisa dinikmatin mungkin cukup untuk membuat orang kembali dan datang, dan pastinya dengan kemasan dan berbagai macam pilihan makanan. Selain itu karena memiliki struktur organisasi yang jelas maka walaupun si pemilik sakit lapak akan tetap dibuka.
Untuk service si penjual nasi goreng keliling akan memberikan anda tambahan-tambahan bahan sesuai dengan pesanan anda, tanpa dipungut biaya dan dengan harapan si pelanggan akan datang lagi untuk memesan di keesokan harinya tanpa mengharapkan orang tersebut mengajak temannya untuk menikmati masakan dia. Sedangkan bila kita membeli di pusat perbelanjaan hal tersebut tidak dapat kita lakukan. Karena terkadang si penjual di mall akan memberikan kita tambahan biaya untuk hal yang kita inginkan.
Untuk masalah harga jangan di tanya, pusat perbelanjaan di mall mematok harga cukup tinggi, karena mereka memiliki banyak biaya yang mesti di tanggung, berbeda dengan si penjual keliling, dia hanya menanggung biaya yang cukup kecil untuk dirinya sendiri dan bahan yang digunakan untuk membuat nasi gorent jadi harga sesuai dengan keadaan serta modal yang ditanamkan.
Mungkin analogi tersebut bisa dapat kita gunakan dalam dunia kita sebagai freelance, baik itu dalam penentuan kapasitas kita untuk menempatkan harga, dan juga cara pelayanan kita dan hasil yang diberikan ke client. Apakah kita ingin menempatkan diri sebagai si penjual nasi goreng keliling ataukah ingin menempatkan diri menjadi si penjual di pusat perbelajaan atau berada di antaranyanya, untuk berada dalam posisi tersebut kita harus melihat faktor-faktor yang mendukung hal tersebut.
Jadi posisi mana yah enaknya kita berada π kasih komentar kalian disini dan mungkin kita bisa saling berbagi dan berdiskusi.
zam.web.id
saya pilih jadi nasi goreng pinggir jalan
karena rata2 omset penjual nasi goreng pinggir jalan
bisa mengalahkan omset penjual nasi goreng di mall
banyak kisah sukses juga para pemilik restoran
dulunya mengawali bisnis dari jualan di pinggir jalan
jadi kesimpulannya: “kadang freelancer = penjual nasi goreng” π maka belajarlah dari penjual nasi goreng!
H
Gue milih jadi penjual nasi goreng pinggir jalan yang (sebisa mungkin) menerapkan sebagian prinsip penjual nasi goreng di mall.. π
Bila ada yang complain dengan kasar, langsung tak usir dari warung. Kalau complain dengan bahasa yang benar dan pakai etika, akan gue terima, perbaiki dan pada kunjungan berikutnya akan gue kasih 1 porsi gratis.. π
antown
betul juga analogi ini jika dihubungkan dengan pekerjaan kita, saya masih setia dengan memposisikan diri penjual nasgor girlan saja. makasih tulisannya, mayan mencerahkan
agoes82
wah semuanya nasi goreng pingir jalan, menunggu yang berbeda pikirannya π
dian ara
saya pilih jadi pemilik franchise “jual nasgor keliling”, hehehe…
buJaNG
Freelancer itu mengasikkan π
duin
kalo saya pribadi, lebih memilih nasi goreng karena murah…. dan gak repot :)….
Novian
siip. deh.. Kalo Freelance kita bisa ngembangin diri, apalagi kalo bisa tinggal diluar negeri, ajip deh.
Joko
Milih jadi penjual nasi goreng pinggiran dulu, tar kl dah mayan banyak pelanggannya baru buka di mall.
Mulai dari yang kecil2 dulu d… π
yahya
sementara ini lagi jualan keliling, sambil mengasah skill, kedepannya mau jualan di mall ato buka warung.
cuman bukan nasi goreng, pisang goreng aja :p
anggi krisna
kapan mau jadi entrepreneur-nya π bentra lagi agustus nih π
Ahmad Yahya
@anggi : yuk marii wkk, sebentra lagi dah agustsu nih, kapan ya gw ke bandugn belajar sama mastah entrepreneur web π
*eh bisa konek pake fesbuk juga ya, keren π
Dikobagda Anggara
analogi yang baik, tapi permasalahannya apa byk client yang percaya begitu saja sama freelancer.. ?
Adi Nugroho
@dikobagda . Oh banyak, minimal lihat saja teman2 yang menjadi pengisi RuangFreelancer ^_^
Adi Nugroho
^
|
|
maksud saya, lihat saja client yang dipunyai teman2 pengisi RuangFreelance π (maklum, nulis dengan kekuatan mata 5 watt)
agoes82
@diko: emang kepercayaan itu dibangun sih, jadi ngebangunnya butuh waktu yang relatif panjang, dan biasanya dari 1 koneksi ke koneksi lain. Sama aja kayak kisah penjualan.
cemputh
jangankan dalam kasus Dagang Nasi Goreng n Menjadi Freelancer handal,, kepercayaan itu sih yang kudu dibangun dan lantas dijaga. njaganya itu lhooo π
thantiey
artikel nya pas bgd sm yg la9i saya pikirin skr… akhirnya saya memilih nasi goreng pinggir jalan,.. kalo da laku baru dehhhh jual di mall,..bahkan di luar negeri,..nasi goreng khas indonesia nihhh,..!!! hehehe
thx artikelnya…
whendy
semua ada kelebihan dan kekurangannya, namun apabila disesuaikan dengan keadaanku sekarang,ya nasgor pinggir jalan tentunya.trus kita tingkatkan, kualitas, service, dan profesionalisme. sapa tau bisa buka di mall…
ya …ga…? π
Engle
menurut saya… kadang tergantung sama client yg sedang dihadapi..
client dengan dunia bisnisnya yang besar/kecil, cara client memberi feedback, bekerja sama, dan lain lain.. akan mempengaruhi cara kita “melayani” mereka..
π