Bingung juga deh bagaimana menjelaskan topik yang satu ini. Iya, saya sedang membicarakan tentang positional bargaining. Sebagai pekerja kreatif (taela… bahasanya) yang karyanya dibutuhkan untuk melengkapi sebuah pekerjaan atau proyek, tentunya kita memiliki standar harga ya?
Contohnya
Sahabat saya seorang arsitek memiliki standar harga yang sangat detail dan diklaim sudah cukup murah untuk beberapa ruang lingkup pekerjaannya. Harga desain, harga tukang, harga bahan bangunan, dan harga interior pelengkapnya dijabarkan secara menyeluruh. Banyak yang mengetahui pekerjaannya sangat rapi dan teliti. Dia gak akan sembarangan mengobral harga murah jika memang tingkat pekerjaannya sulit.
Saya pernah kerja paruh waktu dengannya, sekadar pengalaman bekerja dalam dunia arsitektur itu seseru apa sih. Bertemu klien yang bawel, yang cuek, yang royal, yang pelit, dan yang akhirnya gak jadi padahal di tahap nego sudah ada kata sepakat. Dongkol? Ya eyalah! Tapi apa lantas misuh-misuh? Gak. Dia malah cuek.
“Tenang aja mbak An, pekerjaan berkualitas punya harga. Positional bargaining kita harus kuat kalau emang yakin dengan kualitas yang dimiliki.” Tuh orang santai banget ya?
Beda lagi dengan sahabat saya seorang komikus. Dia bilang sih gak ada standar harga tertentu buat dia. Yang jelas, semakin rumit gambar yang harus dibuat, ya semakin mahal. Apalagi kalau harus menggunakan teknik tertentu. Entah, saya sendiri gak jelas apa itu istilahnya.
“Gue sih gak ada standar tertentu, An. Pokoknya kalo ada kerjaan gambar, tinggal diskusiin aja. Lama waktunya, medianya, tingkat kesulitannya, dan orangnya asik gak? Gue sih nyantai.”
Saya, dengan naifnya bertanya, “Lah, elu kagak takut tuh gak dapet orderan?”
Dia nyengir. “Buktinya ada aja yang nyari gue, kan?”
Kok bisa?
Akhirnya saya mencoba mencari jawabannya sendiri. Iya, benar. Kalau kita yakin dan percaya diri dengan kualitas yang dimiliki, tentu kita bisa pasang harga kepada siapa pun yang membutuhkan jasa, toh?
Akhirnya saya belajar dan bertanya kepada beberapa penulis dan penyunting senior. Bertanya tentang standar penulisan yang ada sekarang ini. Saya mencoba untuk mengambil yang paling murah ketika pertama kali menawarkan diri. Kemudian, perlahan, ketika orang mulai mengenal tulisan saya dan dianggap cocok oleh media mereka, ya tentu saja sudah bisa mempertahankan harga yang saya punya.
Ternyata, meski profesinya sama, standar harga yang dimiliki bisa berbeda. Sahabat saya si arsitek itu ternyata harganya beda dengan kenalan baru saya yang juga arsitek. (yaeyalah, An! 😀 ) Jadi, meski kita baru saja menjajal dunia freelance, tentu saja bisa mempertimbangkan tawaran klien dan mempertahankan harga jika memang dirasa pantas.
Kalau minder, klien juga akan berpikir lain. “Kamu ini sebenarnya profesional dan bisa kerja gak sih? Masa ngasih harga aja segitu ragunya?” Iya? Iya aja gitu deh ya! 😀
Baca Juga :
- Cari Tips Bernegosiasi Harga dengan Klien? Kuasai 5 Jurus Ini!
- Membuat Klien Tunduk Pada Harga Berbasis Nilai
Kalau dengan teman sendiri gimana? Ya, balik ke diri sendiri deh. Ini masalah pekerjaan kan? Bersikap saja profesional. Kalau harga US$100 itu sudah pas, katakan saja. Tinggal kitanya mungkin mau menambahkan bonus apa ke dia sebagai teman. It can be flexible as you want or it need to be. Kata saya sih… Kalau kata emak zaman dulu, “Kerja aja yang bener. Selesaikan amanah orang tepat waktu. Ntar duit dateng sendiri.” Gitu.
Bagaimana menurut freelancer yang lain?