Dear rekan freelancer, rekan-rekan pasti pernah berurusan dengan klien yang cerewet soal desain, bukan? Dan biasanya bagian ini menjadi bagian yang paling “ribet” dari seluruh proses pengembangan sebuah situs web. Saya, misalnya, pernah mendapat pertanyaan seperti ini:
Ini kok kayaknya desainnya kurang gereget ya, kurang bagaimanaaa
gitu?
Awalnya cukup frustrasi juga, tapi kita tentu tidak ingin kehilangan klien hanya karena kita tidak sabar untuk mengevaluasi hasil kerja kita, kan? Apa lagi jika kita berniat menjadikan klien tersebut sebagai klien jangka panjang.
Akhirnya, saya coba mengamati desain tersebut dalam-dalam, dan mencoba jujur pada diri sendiri. Dan apa yang saya temukan? Saya merasa desain itu terlalu kaku, karena jujur saja, ketika membuat desain tersebut saya ikut berpikir keras bagaimana proses selanjutnya: pengodean.
Pada desain media cetak (print), seorang desainer “berhenti” ketika produk desainnya selesai. Pada desain web, sang desainer harus memikirkan soal problem pengodean. Apakah desainnya cukup mudah diterapkan atau dikonversi menjadi bentuk digital.
Pada titik inilah desain web menjadi sebuah pekerjaan yang, pada akhirnya, melulu teknis. Keresahan ini ditangkap oleh Anthony Zinni sebagai “desain yang kurang emosional”.
Over the past couple of days I have been observing websites, and comparing them to the way printed materials are used to communicate. I have come to the personal conclusion that the lack of emotional appeal must be because of the technical nature of web design. This had me thinking about every web project I have ever been a part of, and what the typical concerns of the client were.
Emosional di sini tentu dalam pengertian yang positif. Produk desain yang mengandung emosi memiliki kekuatan personal sang desainer karena energinya dikerahkan betul-betul untuk menghasilkan sebuah karya. Desainer web tidak hanya bekerja untuk mendesain melainkan mesti memikirkan technicality dari suatu desain. Akibatnya, sebagaimana tengara Zinni, desain menjadi kering emosi. Dia seperti produk eksakta yang dipikirkan secara mekanis.
Itulah kenapa, jika kita mau jujur, desain print lebih “bebas”. Tidak terlalu banyak bergantung pada pola-pola seperti header, sidebar, footer, dan seterusnya.
Lalu bagaimana agar desain web bisa lebih emosional? Mungkin salah satu caranya adalah memisahkan antara desainer dengan programmer/developer. Berikan kebebasan desainer untuk mencipta. Patron tetap diperlukan namun tidak menjadi mutlak. Kemudian biarkan orang-orang yang lebih paham soal teknis seperti programmer dan developer memikirkan soal konversi desain ke bentuk digital (markup). Ini cuma salah satu cara.
Memang, akan banyak sekali yang menentang saya dengan mengatakan “desainer web mesti bisa juga membuat kode.” Saya akan bilang, “Jika bisa, maka itu menjadi sebuah nilai plus. namun, jika tidak bisa, tidaklah berdosa (mungkin terkesan subjektif karena saya tidak bisa mengode π ) Tapi ya sudahlah, kita tidak sedang membahas itu π
Cara lainnya mungkin adalah dengan memperbanyak mencari inspirasi dari media selain media online. Misalnya dengan melihat desain-desain media cetak (koran, majalah, buku). Desain saya The Journal di Woothemes adalah pekerjaan spontan setelah saya membaca…Koran Tempo π
Baca Juga :
Jadi, cobalah luangkan waktu untuk menyelami desain Anda sendiri dan tanyakan pada diri sendiri apakah Anda sudah benar-benar mendesain dengan emosi dan lepas dari kungkungan hal-hal teknis. Untuk kebahagiaan klien Anda, langkah ini tentu patut dicoba π
Andre Noore
tulisan nya bagus mas, berguna buat newbie dpt saya π
salam..
Klanjabrik
Seni itu kualitas, jadi tidak bisa di kuantitatif-kan, rasa adalah sifat subjektif, oleh sebab itu komunikasi dengan client jauh lebih penting ketimbang menyelami.
Client yang belum memiliki bayangan, biasanya akan terbuka pikirannya ketika sudah ada contoh tampilan, ini bisa membuka terjadinya dialog.
Richard Fang
mau tidak mau pekerjaan apa pun harus melibatkan emosi, even desain seminimal apapun, kalau kita menggerakan mouse/pensil/whateva dengan sepenuh hati di iringi konsep yg kuat di jamin ‘aura’ nya bakal keliatan..
desain (grafis/interior/web dll) memang berbeda dari seni (murni), tapi namanya juga turunan yah ga jauh beda sama asalnya hehehe
Klanjabrik
[…mau tidak mau pekerjaan apa pun harus melibatkan emosi,…]
SEPAKAT, saya setuju…
static
“Mungkin salah satu caranya adalah memisahkan antara desainer dengan programmer/developer”
bukan hanya masalah
βdesainer web mesti bisa juga membuat kode.β saja
sulit kalo kita one man show terus (segala ini itu sendiri, biasanya karena tidak bisa percaya ama orang lain), makanya sy lebih memilh kerja kroyokan, team work. imbasnya, emosi lebih meledak-ledak (berantem gitu :P), gak jarang kita dapet sesuatu yang baru dari brainstorming dg rekan2 coder.
yah tapi cari coderny yg paham cara kerja kita sbg desainer, kalo ndak ya sama juga boong, brantem terus π
zam.web.id
lebih bagus lagi dibagi tiga:
– designer (PSD)
– slicer (XHTML/CSS)
– progammer/developer (PHP etc)
Asep Bepitulaz
Berarti emang paling enak klo punya partner ya.
Saya sendiri masih bingung klo ngedesain web, bikin back end systemnya (padahal gak jago2 amat php/mysql), trus front endnya (psd, xhtml/css, javascript) lum klo deadline mepet kerjaan jadi gak perfect, gak puas rasanya.
anggi krisna
pastinya begitu π
di @icreativelabs sendiri sudah ada kerjaan masing2 π
CSS frontend and Backend, sehingga butuh 2 orang
Programmer frontend and backend, sama butuh 2 juga + 1 backup kalo ada apa-apa
dan yg terakhir 1 web graphic designer untuk membuat semua interface dari admin hingga frontend
sayangnya yg dikerjain sama kita gak cuma 1 project, sehingga masing2 kadang megang pararel proyek π
maaf kawan2 @icreativelabs semoga tetap bisa on schedule π
antown
tambahin satu lagi kang, illustrator hehe. mantap tuh
Daus
@all, terima kasih komentarnya.
Soal “semua pekerjaan mesti melibatkan emosi” tentu saja sepakat soal ini π
Yang saya tekankan dalam artikel ini adalah bagaimana seorang desainer mesti melepaskan diri dari kungkungan atau kekhawatiran bahwa desainnya bakal sulit dikoding (notabene hal amat teknis).
Dan saya setuju agar desainer mesti berkomunikasi secara intensif dengan slicer/programmer.
Richard Fang
well jaman sekarang serumit apa sih pastinya bisa yah hehehe cuma ya kira2 aja, desainer juga harus tau sedikit2 gimana cara kerja code, jadi pas kita ngedesain walupun bukan kita yang nge-code, tetap mudah di mengerti dan di kerjakan oleh sang coder nantinya..
Daus
Artikel ini, terus terang saja, merupakan pengalaman pribadi. Saya mendapat “curhatan” dari seorang koder yang menyayangkan banyak desainer yang “tidak mau tahu” bagaimana mengode desainnya π
Klanjabrik
Koordinasi kerja mungkin kuncinya,
contoh kecil: saya biasa meng-informasikan kepada teman designer perihal struktur folder, file-file css dimasukkan ke folder css, file-file javascript dimasukkan ke folder js, file-file image dimasukkan ke folder img, dan jika ada tambahan css oleh programmer, kita memiliki kesepakatan untuk membuatnya di file css yang baru.
ronggur
he’eh..seenggaknya harus banyak komunikasi sama codernya juga.. biar masing2 nggak ada yg tersakiti *halah*
emang lebih enak bisa desain + coder juga kyknya ya.. seenggak bisa ngerti gimana slice itu desain *mungkin*
Daus
Seperti dirimu ya yang segala bisa? π
ronggur
ya nggak juga mas.. lebih karena terdorong situasi dan kondisi a.k.a karena terpaksa.. heu2
Jeffri
Setuju sih, tapi dalam membuat design web, banyak unsur yang harus diperhatikan. Dari navigasi, struktur web, kemudahan koding, dan lainnya. Semakin rumit desain, code nya juga bakal semakin rumit (atau malah jadi image semua) dan ujung2nya berpengaruh di kecepatan loading client (dan kepusingan coder biar bisa cross-browser). π
Jadi ya, memang desain web ga bisa sebebas desain print.
Opini dari coder sih… π Desain cuman kadang2 doank…
H
Interesting topic. π
“We apply gradients, resize images, setting up whitespaces or tweaking pixels while at the same time, thinking about how they’re going to be applied or coded into the HTML page.”
Itu kata website ini: http://www.960pixels.net
Gue pikir emang begitu seharusnya mindset we graphic designer. Beda dengan print designer.
rigan
saya setuju dengan artikel ini, kadang produk akhir dari desain tidak pasti, karena melibatkan indera perasa (karsa) manusia, yang kadang-kadang tidak sama antar satu individu dengan individu lain
laely
setuju bgt .. aku srg di comment temen2 senior ku-gara2 bikin dsain
“gak maen perasaan” ,, hiks
makasiih artikel nya sgtt brmanfaat buat aku
Kang Bondan
Lebih ke desainer tuh saya π